PALEMBANG, Halosumsel- Proses hukum kasus suap penerbitan izin usaha pertambangan dan operasi produksi (IUP OP) di wilayah Tanah Bumbu, oleh mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel), Mardani H. Maming mendapat perhatian beragam pakar hukum.

Hal ini terlihat dalam Focus Grup Discusi (FGD) dengan tema kriminalisasi Hukum dan Politisasi Hukum, yang digelar oleh Genta Keadilan Nusantara, di Remington Café dan hotel Jalan Jendral Bambang Utoyo, dengan menghadirkan tiga pakar hukum sebagai narasumber, yaitu Dr. Artha Febriansyah, SH, MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri), Dr. H. Bambang Sugianto, SH, M.Hum dosen Stihpada, dan Dr. Heny Yuningsih, SH, MH dosen dari Unsri dipandu moderator Sapriadi Syamsudin, SH.

Dalam wawancara singkat terkait pandangan serta kajian terhadap kasus yang Tengah booming ini, Dr Artha, menyebut perlu adanya ketegasan dalam Upaya hukum.

“Harus dipisah antara tindak pidana pertambangan dengan tindak pidana korupsi disektor pertambangan, jadi harus dipilah. Jika memang masuk dalam tindak pidana harus dibuktikan. Jadi jika melihat pendapat ahli seperti Prof Joko Santoso, mengatakan ini murni unsur bisnis tetapi mengapa bisa kearah tindak pidana,” katanya

Jika masalah bisnis ini menurut Artha, hukumnya privat bukan public.
Apakah ada Upaya yang bisa dilakukan? Dijelaskan oleh Artha, judulnya hakim tetap manusia.

Walaupun judulnya hakim adalah wakil Tuhan. Pasti ada tendensius objektif dan subjektifnya.

“Dan untuk putusan hakim masih bisa di challenge, karena akan ada pengawasan dari MA. Ada juga KY untuk mengkritisi atau mencerna bahwa putusan itu, apakah adil atau tidak tetap dapat dilakukan dengan upaya. Dan kalau kalau memang ini dianggap tidak adil bagi Mardani H Maming, bahwa ada upaya hukum. Jadi bisa dimintakan pengampunan dari presiden Prabowo, seperti yang terjadi pada kasus Antasari Azhar. Memang putusan tidak dianulir, tetapi beliau bisa bebas karena ada pengampunan dari presiden atau grasi,” terangnya.

Dr Heny Yuningsih, dalam pandangannya menjelaskan sebagaimana yang sudah diketahui ada tahapan dalam proses penegakkan hukum.

“Mulai dari tahap pertama hingga PK. Dimana dari tahapan pertama hingga PK, tetap mempidanakan terdakwa Mardani H Maming. Disini kita akan lihat bagaimana proses hukum mulai dari Tingkat pertama hingga PK. Bagaimana prosesnya, bagaimana hakim dalam menjatuhkan pidana. Bagaimana prosedurnya itu akan menjadi catatan penting, bagi Sejarah peneggakkan hukum di Indonesia,” ungkapnyaa.

Beberapa Narasumber juga sambung Heny, sudah menyinggung apakah ini ada kriminalisasi apakah ada politisasi terhadap perbuatan dari terdakwa Maming.

“Kita bisa lihat bagaimana proses penegakkan hukum. Kenapa bisa dikenakan pasal B, kenapa bisa dikenakan pidana 10 tahun dengan kerugian keuangan negara tadi. Disini kita akan melihat apakah bisa dikatakan adil atau tidak. Bagaimana dengan proses hukum dengan adanya finalisasi Keputusan hakim berupa PK. Jadi bisa diajukan Upaya hukum Kembali apabila terdapat nofum atau alat bukti baru terhadap proses penegakkan hukumnya,” jelas Heny.

Sedangkan Dr Bambang Sugianto, dalam pandangannya mengatakan jika kasus ini tengah berjalan dan putusan yang disebut dengan peninjauan Kembali (PK).

“Tapi ada beberapa hal yang saya lihat secara mata hukum, tentang penghukuman dari tingkat pertama dan PK. Ada Namanya hukuman uang pengganti. Kalau bicara gratifikasi tidak diterapkan uang pengganti kecuali proses izin sudah berjalan serta ada indikasi negara dirugikan terkait gratifikasi,” capnya.

Kedua berharap kepada penegak hukum dalam hal ini, sambung Bambang, hak majelis hakim pengawas dan KY untuk melakukan pemeriksaan dan sebuah penyelidikan kenapa kasus misalnya seketika penjatuhan hukum di PK ada tambahan hukuman 4 tahun dengan denda sekian.

“Ini kalau kita lihat sistem peradilan banyak alami kejanggalan. Misalnya ada Batasan peluang pra peradilan dipotong ada surat DPO. Saksi meringankan selalu banyak dikesampingkan. Ini jadi tanda tanya,” pungkasnya.

Rif